Saturday 13 February 2016

Simpul Terujung 16-20

Hubungan yang terbina selama empat tahun hilang begitu saja. Hilang hanya karena wanita, wanita yang lebih baik dariku. Tapi, kenapa harus adikku. Mungkin kalau oranglain, aku tidak terlalu bersedih. Ini, adikku sendiri.  Aku selalu berusaha mengalah deminya.

Sejak kecil hingga aku dewasa masih harus mengalah. Usiaku dengan Audrey berbeda empat tahun, tetapi haruskah aku menjadi seorang kakak yang selalu mencoba menjadi pelindung terus menerus.


Memang aku dan adikku Audrey sangat berbeda jauh. Ibaratkan langit dan bumi. Audrey merupakan wanita seksi, cantik, putih, selain itu memiliki rambut panjang dan kalau terurai sangat indah. Tinggi tubuhnya 165 sentimeter. Selain itu, dia selalu menjadi idola dan disukai siapa saja karena pergaulan, kecantikan dan keramahannya.

Sedangkan aku sangat berbeda jauh dari adikku. Walaupun kami saudara kandung. Bentuk tubuh kami berbeda, aku memiliki tubuh berisi, tinggi ku hanya 155 sentimeter, kulitku sedikit gelap, rambutku bergelombang. Tidak hanya itu, wajahku biasa-biasa saja. Karena itu, aku merasa senang saat Jack, teman kampusku menjadikan aku kekasihnya. Bahkan hubungan yang terbina selama empat tahun mau dilanjutkan ke arah yang lebih serius, apalagi kalau bukan pernikahan. Semuanya jadi berantakan. Karena adikku.

Kini, aku meratapi hidupku, menyendiri diperdesaan. Menderita, karena kelakukan adik kandungku sendiri. Hidup memang tidak adil. Karena memang hidup tak pernah adil, sekali pun untukku.

Merenung dan merenung, akhirnya aku putuskan, aku harus bangkit dari keterpurukanku. Lagipula, aku sudah memutuskan hubungan dengan adikku. Jadi, untuk apa aku bersedih. Belajar menerima, itulah yang harus kujalani sekarang. Aku harus kuat, tegar. Karena itulah aku, Ellen, wanita tegar, wanita kuat. Ucapku berulang kali, karena katanya kalau kita terus mengucapkan kata-kata yang positif akan terpati dalam pikiran alam bahwa sadar kita. Aku mencoba tuk itu, aku mencoba untuk menjadi tegar dan kuat.

Aku juga sudah tidak peduli dengan tanggapan orang mengenai pesta pernikahan yang berlangsung dua minggu lalu. Aku mencoba kembali menghadapi realita kehidupan. Aku mencoba keluar dari keterpurukkanku. Apalagi masa cutiku juga sudah habis.

Waktuku, kugunakan untuk bekerja, bekerja. Karena dengan bekerja perasaanku, pikiranku bisa terlepas dari bayangan Jack dan Audrey. Aku berusaha tegar, walaupun itu sulit. Sesulit apa pun, aku akan mencoba.  

‘’Ellen,’’ ujar Melisa membuyarkanku dari lamunan, ‘’Dicari Mr Raymond. Dia menunggumu di ruangannya.’’

Aku bangkit berdiri dari mejaku, ‘’Makasih ya,’’ secepat mungkin aku melangkahkan kaki menuju lift. Ku tekan lantai tiga. ‘’Ada pak Raymond?’’ tanyaku pada Santi, sekretarisnya.

‘’Iya, bapak sudah menunggu di dalam,’’ jawab Santi, dia menyuruhku masuk ke dalam.

Aku ketuk pintu kantor Raymond, ‘’Coming,’’ seru suara dari dalam. Saat aku masuk, Raymond sedang membaca berkas.

‘’Excuse me, sir,’’ ujar ku saat berada didalam, ‘’Are you looking for me?’’

 ‘’Yes, sit down please,’’ tutur Raymond mempersilahkan aku duduk, ‘’I need your help and I think you’re the one who can help me.’’

‘’What can I do for you, sir.’’

‘’I want you to help me in Singapore,’’ katanya, ‘’ I think you can get this job because of your smart.’’

‘’Sorry Mr. Raymond,’’ ujarku memotong pembicaraan, ‘’I don’t understand what do you mean?’’

Raymond tersenyum manis dan menuju ke arahku, ‘’Don’t you want change your job from this hotel to better life, Do you?’’

‘’Yes, I do. If  I have an opportunity.’’

‘’Yes, I know that,’’ serunya, ‘’That way I asked you to take this time to get a better life and job,’’ lanjut Raymond. ‘’I know you can do this job be assistant manager public relation in one of my family’s hotels in Singapore.’’

‘’Wow,’’ gumamku. Aku berpikir sejenak mencerna tiap kata yang dimaksudnya untukku. Raymond masih duduk diatas meja didepanku, menungguku bereaksi.’’How?’’ tanyanya.

Aku bangkit berdiri dan menatapnya ragu. Ada keraguan untuk  menerima tawarannya. Karena aku masih belum siap. ‘’Thanks sir,’’ kataku lirih, ‘’But I am not sure for this time.’’

Raymond masih berdiam dan mengangkat bahunya. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataanku.  ‘’I can’t take this job because I can’t concentrate with my job,’’ hanya kata inilah yang sanggup kukatakan pada pria yang sudah banyak menolong dan membantuku bekerja, ‘’I am so sorry to make you disappointed.’’

***

‘’Apa, kamu mengundurkan diri dari pekerjaan mu?’’ tanya Fanny kaget. Setelah kuceritakan prihal tawaran Raymond mengenai posisi assisten manager public relation di Singapura.

‘’Ssst pelankan suara mu,’’ ujarku mengingatkan Fanny, ‘’Iya, aku masih belum siap mendapatkan promosi itu. Otomatis aku harus meninggalkan hotel ini.’’

Fanny menepis tangannya, saat aku selesai mengatakan itu. ‘’Belum tentu kan,’’ kata Fanny lebih berupa bisikan, ‘’Kamu tahu Len,’’ ujarnya sambil menatapku.

‘’Tahu apa,’’ sahutku.

Fanny tersenyum, ‘’ Ray itu menyukaimu,’’ gumam Fanny pelan, lebih berupa bisikan.

Mendengar perkataan Fanny tentu saja aku nggak percaya. ‘’Sembarangan kamu,’’ kataku sambil tertawa dan menjauh darinya, ‘’Dia tuh bos kita. Mana bisa begitu.’’

Kembali Fanny yang tertawa. Disamperinnya aku. ‘’Dasar bodoh,’’ ujar Fanny acuh tak acuh.

Fanny kembali duduk ditempatnya semula masih dengan tatapan menggodaku. ‘’Makanya itu, kamu dipindahkan ke Singapura,’’ lanjut Fanny, ‘’Apalagi kalau bukan memberimu kesempatan dan membuatnya berpeluang untuk lebih dekat dengan mu.’’

Fanny merupakan teman kerjaku, kami satu tim. Dia lebih dari sekedar kawan kerja, dia sahabatku. ‘’Sudahlah, nggak baik menduga-duga seperti itu,’’ tepisku, ‘’Lagipula aku harus meninggalkan pekerjaan ini cepat atau lambat.’’ Saat berkata begitu ku langkahkan kaki menuju jendela. Kupandangi orang-orang yang keluar masuk hotel.

 ‘’Kamu sudah tidak suka bekerja di sini,’’ tanyanya bingung.

Kugelengkan kepala. ‘’Bukan begitu,’’ kataku cepat, ‘’Aku hanya butuh menenangkan diri. Aku malu bertemu dengan relasi. Karena pernikahan itu.’’

Fanny kembali menghampiriku dan berdiri disebelahku. Diraihnya tanganku, ‘’Itu bukan salahmu,’’ ujarnya mengingatkan, ‘’Kenapa kamu harus bingung dan malu. Ayolah, jangan bersifat sentimentil begitu. Fanny menenghembuskan nafas, ‘’Aku tahu, kamu tuh orangnya kuat.’’

Aku tertawa saja mendengarnya dan aku pun memeluknya, dia balas memelukku. Rasanya sangat nyaman, disaat beban dipundak terasa berat, ada seseorang yang bisa diajak berbagi. Kupandangi wajah sahabatku, ‘’Emangnya aku super woman apa. Kuat,’’ ujarku yang lebih ku ungkapkan untuk diriku sendiri, ‘’Aku hanya lah manusia biasa.’’

Kami berdiam, mata kami hanya menelusuri parkiran yang sudah mulai ramai. ‘’Lagipula,’’ lanjutku, ‘’Aku merasa tidak enak dengan Raymond. Aku menolak tawarannya. Bagaimana aku bisa bekerja dengan nyaman.’’

‘’Iya juga seh,’’ sahut Fanny bingung, ‘’Terserahlah, semua keputusan ada ditanganmu.’’

Kembali Fanny memandangku, ‘’Sebagai sahabat, teman,’’ sahut Fanny sambil menggenggam jemariku, erat, ‘’Apapun yang kamu pikirkan dan lakukan. Aku akan mendukungmu, wanita super,’’ ujar Fanny sambil memelukku lagi.

 Semenit kemudian dia pun pergi meninggalkan ruanganku. ‘’Back to work,’’ katanya sambil tertawa. Aku pun mengangguk, kepergian Fanny membuatku berpikir, inikah keputusan yang tepat untukku.

***


0 comments:

Post a Comment

 

Simpul Terujung Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang