Hubungan yang
terbina selama empat tahun hilang begitu saja. Hilang hanya karena wanita,
wanita yang lebih baik dariku. Tapi, kenapa harus adikku. Mungkin kalau
oranglain, aku tidak terlalu bersedih. Ini, adikku sendiri. Aku selalu berusaha mengalah deminya.
Sejak kecil
hingga aku dewasa masih harus mengalah. Usiaku dengan Audrey berbeda empat
tahun, tetapi haruskah aku menjadi seorang kakak yang selalu mencoba menjadi pelindung
terus menerus.
Memang aku
dan adikku Audrey sangat berbeda jauh. Ibaratkan langit dan bumi. Audrey merupakan
wanita seksi, cantik, putih, selain itu memiliki rambut panjang dan kalau
terurai sangat indah. Tinggi tubuhnya 165 sentimeter. Selain itu, dia selalu menjadi
idola dan disukai siapa saja karena pergaulan, kecantikan dan keramahannya.
Sedangkan aku
sangat berbeda jauh dari adikku. Walaupun kami saudara kandung. Bentuk tubuh
kami berbeda, aku memiliki tubuh berisi, tinggi ku hanya 155 sentimeter,
kulitku sedikit gelap, rambutku bergelombang. Tidak hanya itu, wajahku
biasa-biasa saja. Karena itu, aku merasa senang saat Jack, teman kampusku
menjadikan aku kekasihnya. Bahkan hubungan yang terbina selama empat tahun mau
dilanjutkan ke arah yang lebih serius, apalagi kalau bukan pernikahan. Semuanya
jadi berantakan. Karena adikku.
Kini, aku
meratapi hidupku, menyendiri diperdesaan. Menderita, karena kelakukan adik kan dungku sendiri. Hidup
memang tidak adil. Karena memang hidup tak pernah adil, sekali pun untukku.
Merenung dan merenung,
akhirnya aku putuskan, aku harus bangkit dari keterpurukanku. Lagipula, aku
sudah memutuskan hubungan dengan adikku. Jadi, untuk apa aku bersedih. Belajar
menerima, itulah yang harus kujalani sekarang. Aku harus kuat, tegar. Karena
itulah aku, Ellen, wanita tegar, wanita kuat. Ucapku berulang kali, karena
katanya kalau kita terus mengucapkan kata-kata yang positif akan terpati dalam
pikiran alam bahwa sadar kita. Aku mencoba tuk itu, aku mencoba untuk menjadi
tegar dan kuat.
Aku juga
sudah tidak peduli dengan tanggapan orang mengenai pesta pernikahan yang
berlangsung dua minggu lalu. Aku mencoba kembali menghadapi realita kehidupan.
Aku mencoba keluar dari keterpurukkanku. Apalagi masa cutiku juga sudah habis.
Waktuku, kugunakan
untuk bekerja, bekerja. Karena dengan bekerja perasaanku, pikiranku bisa
terlepas dari bayangan Jack dan Audrey. Aku berusaha tegar, walaupun itu sulit.
Sesulit apa pun, aku akan mencoba.
‘’Ellen,’’
ujar Melisa membuyarkanku dari lamunan, ‘’Dicari Mr Raymond. Dia menunggumu di ruangannya.’’
Aku bangkit
berdiri dari mejaku, ‘’Makasih ya,’’ secepat mungkin aku melangkahkan kaki
menuju lift. Ku tekan lantai tiga. ‘’Ada
pak Raymond?’’ tanyaku pada Santi, sekretarisnya.
‘’Iya, bapak
sudah menunggu di dalam,’’ jawab Santi, dia menyuruhku masuk ke dalam.
Aku ketuk
pintu kantor Raymond, ‘’Coming,’’
seru suara dari dalam. Saat aku masuk, Raymond sedang membaca berkas.
‘’Excuse me, sir,’’ ujar ku saat berada
didalam, ‘’Are you looking for me?’’
‘’Yes,
sit down please,’’ tutur Raymond mempersilahkan aku duduk, ‘’I need your help and I think you’re the one
who can help me.’’
‘’What can I do for you, sir.’’
‘’I want you to help me in Singapore,’’ katanya,
‘’ I think you can get this job because
of your smart.’’
‘’Sorry Mr. Raymond,’’ ujarku memotong
pembicaraan, ‘’I don’t understand what do
you mean?’’
Raymond
tersenyum manis dan menuju ke arahku, ‘’Don’t
you want change your job from this hotel to better life, Do you?’’
‘’Yes, I do. If I have an
opportunity.’’
‘’Yes, I know that,’’ serunya, ‘’That way I
asked you to take this time to get a better life and job,’’ lanjut Raymond.
‘’I know you can do this job be assistant
manager public relation in one of my family’s hotels in Singapore.’’
‘’Wow,’’
gumamku. Aku berpikir sejenak mencerna tiap kata yang dimaksudnya untukku. Raymond
masih duduk diatas meja didepanku, menungguku bereaksi.’’How?’’ tanyanya.
Aku bangkit
berdiri dan menatapnya ragu. Ada
keraguan untuk menerima tawarannya.
Karena aku masih belum siap. ‘’Thanks sir,’’
kataku lirih, ‘’But I am not sure for
this time.’’
Raymond masih
berdiam dan mengangkat bahunya. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum
melanjutkan perkataanku. ‘’I can’t take this job because I can’t
concentrate with my job,’’ hanya kata inilah yang sanggup kukatakan pada
pria yang sudah banyak menolong dan membantuku bekerja, ‘’I am so sorry to make you disappointed.’’
***
‘’Apa, kamu
mengundurkan diri dari pekerjaan mu?’’ tanya Fanny kaget. Setelah kuceritakan
prihal tawaran Raymond mengenai posisi assisten manager public relation di
Singapura.
‘’Ssst
pelankan suara mu,’’ ujarku mengingatkan Fanny, ‘’Iya, aku masih belum siap
mendapatkan promosi itu. Otomatis aku harus meninggalkan hotel ini.’’
Fanny menepis
tangannya, saat aku selesai mengatakan itu. ‘’Belum tentu kan ,’’ kata Fanny lebih berupa bisikan, ‘’Kamu
tahu Len,’’ ujarnya sambil menatapku.
‘’Tahu apa,’’
sahutku.
Fanny
tersenyum, ‘’ Ray itu menyukaimu,’’ gumam Fanny pelan, lebih berupa bisikan.
Mendengar
perkataan Fanny tentu saja aku nggak percaya. ‘’Sembarangan kamu,’’ kataku
sambil tertawa dan menjauh darinya, ‘’Dia tuh bos kita. Mana bisa begitu.’’
Kembali Fanny
yang tertawa. Disamperinnya aku. ‘’Dasar bodoh,’’ ujar Fanny acuh tak acuh.
Fanny kembali
duduk ditempatnya semula masih dengan tatapan menggodaku. ‘’Makanya itu, kamu
dipindahkan ke Singapura,’’ lanjut Fanny, ‘’Apalagi kalau bukan memberimu
kesempatan dan membuatnya berpeluang untuk lebih dekat dengan mu.’’
Fanny
merupakan teman kerjaku, kami satu tim. Dia lebih dari sekedar kawan kerja, dia
sahabatku. ‘’Sudahlah, nggak baik menduga-duga seperti itu,’’ tepisku, ‘’Lagipula
aku harus meninggalkan pekerjaan ini cepat atau lambat.’’ Saat berkata begitu
ku langkahkan kaki menuju jendela. Kupandangi orang-orang yang keluar masuk
hotel.
‘’Kamu sudah tidak suka bekerja di sini,’’
tanyanya bingung.
Kugelengkan
kepala. ‘’Bukan begitu,’’ kataku cepat, ‘’Aku hanya butuh menenangkan diri. Aku
malu bertemu dengan relasi. Karena pernikahan itu.’’
Fanny kembali
menghampiriku dan berdiri disebelahku. Diraihnya tanganku, ‘’Itu bukan salahmu,’’
ujarnya mengingatkan, ‘’Kenapa kamu harus bingung dan malu. Ayolah, jangan
bersifat sentimentil begitu. Fanny menenghembuskan nafas, ‘’Aku tahu, kamu tuh
orangnya kuat.’’
Aku tertawa
saja mendengarnya dan aku pun memeluknya, dia balas memelukku. Rasanya sangat
nyaman, disaat beban dipundak terasa berat, ada seseorang yang bisa diajak
berbagi. Kupandangi wajah sahabatku, ‘’Emangnya aku super woman apa. Kuat,’’
ujarku yang lebih ku ungkapkan untuk diriku sendiri, ‘’Aku hanya lah manusia
biasa.’’
Kami berdiam,
mata kami hanya menelusuri parkiran yang sudah mulai ramai. ‘’Lagipula,’’
lanjutku, ‘’Aku merasa tidak enak dengan Raymond. Aku menolak tawarannya.
Bagaimana aku bisa bekerja dengan nyaman.’’
‘’Iya juga seh,’’
sahut Fanny bingung, ‘’Terserahlah, semua keputusan ada ditanganmu.’’
Kembali Fanny
memandangku, ‘’Sebagai sahabat, teman,’’ sahut Fanny sambil menggenggam
jemariku, erat, ‘’Apapun yang kamu pikirkan dan lakukan. Aku akan mendukungmu,
wanita super,’’ ujar Fanny sambil memelukku lagi.
Semenit kemudian dia pun pergi meninggalkan ruanganku.
‘’Back to work,’’ katanya sambil tertawa. Aku pun mengangguk, kepergian Fanny
membuatku berpikir, inikah keputusan yang tepat untukku.
***
0 comments:
Post a Comment