Saturday 13 February 2016

Simpul Terujung 11-15

Aku memalingkan wajah, benci melihat mereka berdua, sakit hati itulah yang tepat aku rasakan. ‘’Lanjutkan saja urusan kalian,’’ ujar ku acuh tak acuh, ‘’Aku hanya mau mengambil beberapa barangku dan pergi dari sini.’’

Saat aku melangkahkan kaki ke dalam, Audrey menyusulku. Pandangannya bingung, ‘’Maksudmu apa kak Ellen,’’ tanyanya, ‘’Kamu mau meninggalkan rumah ini?’’


Ingin rasanya tidak ku gubris perkataan Audrey, tetapi tatapan Audrey memintaku menjawab pertanyaannya. ‘’Aku mendapatkan rumah dinas dari kantor,’’ kataku sambil merapikan barangku. ‘’Jadi, tak ada salahnya aku menggunakannya. Lagipula, aku sudah bosan tinggal di rumah ini. Jadi, lebih baik aku pergi saja! Sampaikan salam ku ke ayah.

Audrey masih berdiri di depan pintu kamarku, sedangkan Jack meninggalkan kami berdua, hal itu kami ketahui dari suara mobilnya saat meninggalkan halaman rumah. ‘’Jangan kuatir, aku tetap akan datang ke pesta pernikahanmu.’’

Ketika kuputuskan meninggalkan  rumah, Audrey hanya menangis. Selang satu jam setelah kejadian itu, ayah mencoba meneleponku.  Berulang kali  ayah mencoba menghubungiku baik di kantor maupun di ponsel. Namun, aku tetap tak bergeming dengan keinginan ayah untuk bertemu dengan ku dari pesan singkat, voice mail dan pesan dikantor.

Saat ayah mencoba mendatangiku di kantor, untungnya aku selalu tidak berada di kantor. Karena sedang sibuk mengurus urusan kantor diluar. Jadi, ayah tidak sempat bertemu dengan ku dan itu sangat kuharapkan, tidak bertemu ayah.

Pasti ayah akan membela kelakuan putri bungsunya. Akukan memang selalu disuruh mengalah. Sejak kecil selalu seperti itu. Tidak pernah ada orang --sekali pun-- yang benar-benar tulus mempedulikanku.

***

Seminggu merupakan waktu yang singkat, pekerjaanku tetap berjalan. Bahkan beberapa kali staff menanyakan kapan aku mau libur untuk mempersiapkan pernikahanku. Aku hanya menjawab dengan senyuman semua pertanyaan kawan-kawan sekantor dan kolega. Bahkan Raymond --bos ku-- menanyakan hal serupa.

Izin cuti telah diberikan, tetapi aku membatalkannya. Begitu adikku keluar dari ruanganku. Aku langsung membatalkan cutiku.

Pesta pernikahan yang meriah, dihadiri semua kerabat dekat, relasi dan semua tamu undangan. Pesta meriah itu menjadi sensasi sendiri, karena para tamu undangan dan keluarga dekat merasa terkejut saat melihat mempelai wanitanya bukan aku. Berbagai bisikan terdengar langsung maupun tidak langsung dari para tamu undangan yang hadir.

Ingin rasanya aku tenggelam dan menghilang, tetapi apa daya, aku tidak bisa melakukan itu. Aku harus kuat, aku harus tegar. Walaupun sebenarnya aku rapuh. Aku pandangin kedua mempelai dari jarak radius sepuluh meter. Aku hanya termenung sendiri, walaupun kadang-kadang beberapa tamu menyapaku dan mengajak berbincang-bincang, aku hanya menjawab lemah. Kadang hanya membalas pertanyaan para tamu dengan tersenyum. Aku malas berkata-kata.

Aku melihat Rudi berjalan menuju arahku. Hitungan menit, Rudi sudah berdiri disebelahku. ‘’Kenapa bisa jadi seperti ini Ellen,’’ tanyanya ragu-ragu, ‘’Padahalkan kalian pasangan yang cocok.’’

‘’Be quiet,’’ jawab ku acuh tak acuh, ‘’Ini bukan urusan mu.’’

‘’Tapi, tidakkah kamu melihat wajah terkejut semua tamu undangan,’’ katanya tanpa menghiraukan perasaanku, ‘’Aku  kan kawan mu, memang hanya kawan kerja. Jadi, tidak ada salahnya aku bertanya padamu.’’

Diraihnya tanganku dan tiba-tiba dia sudah menggeser posisi berdirinya berada didepanku. Wajahnya menunjukan rasa simpatik, muak rasanya melihat wajah-wajah tamu yang menunjukan rasa simpatik atau belas kasihan. Aku tidak perlu itu. ‘’Sudahlah, biarkan aku sendiri,’’ ujarku, ‘’Aku sudah merasa cukup puas melihat wajah Jack begitu kakunya menjawab semua pertanyaan orang mengenai ini.’’

Melihatku ingin menyendiri, Rudi pun meninggalkanku seorang diri. Sebelum dia meninggalkanku, dia memelukku sambil berujar, ‘’Tidak ada yang salah denganmu.’’

 Sejujurnya aku merasa gerah berada didalam ruangan ini. Jadi, aku memilih meninggalkan ruangan itu diam-diam. Kalau oranglain ingin mengetahui perasaanku, aku hancur. Sama seperti vas bunga yang pecah dan tak bisa lagi disatukan kembali keping-kepingannya.

Pesta pernikahan yang kurancang sesempurna mungkin, mulai pestanya, makanan, dekorasinya, baju pengantinnya, kuenya. Namun, itu semua bukan untukku. Bisakah ada orang yang membayangkan ini semua. Aku pun sebenarnya tidak sanggup membayangkan. Namun, ini memang terjadi pada diriku.

Seharusnya aku yang duduk dipelaminan itu, bersanding dengan pria yang kucintai dan yang mencintaiku. Bukannya berdiri disini menatap gelapnya malam, ingin rasanya kuberlari. Ini bukan dunia barat, yang pernikahan seperti ini biasa terjadi. Ini Indonesia, apakah aku sanggup memandang wajah-wajah kolegaku, kawan kerjaku, relasiku dengan berbagai tatapan yang tidak kuketahui makna yang terkandung di dalamnya.

Saat aku memandangi bintang, menghirup dinginnya udara malam. Keluarlah isak tangis yang sejak tadi aku bendung. ‘’Oh, Tuhan. Bagaimana aku harus menghadapi hidup seperti ini?’’ keluhku.

Aku tidak menyadari ada orang yang melihatku menyelinap meninggalkan ruang pesta dan berdiri diluar panggung sandiwara. ‘’Hi, pretty woman,’’ sapa Raymond, ‘’What are you doing here?’’

Aku memalingkan badanku ke arah sosok suara yang menyusulku di teras hotel. Aku tersenyum dan menghapus bekas air mata yang membasahi pipiku. ‘’Just standing and see stars,’’ jawabku.

‘’Come. Come here and sit down beside me,’’ tuturnya sambil menepuk-nepuk bangku disebelahnya.

‘’Thanks,’’ kataku sambil duduk.

‘’I don’t know what happened with your party and I never asked you to explain your privacy problems,’’ katanya sambil menegak wine dari gelasnya, ‘’I just give you advice. You are a beautiful woman and smart.’’

Raymond menaruh gelas di meja dan memandang wajahku dalam-dalam, aku tidak mengerti arti tatapan matanya. ‘’You can get a better man, more than,’’ tanya Raymond, ’’Who is your ex fiancé name?’’

‘’Jack,’’ jawabku lirih.

‘’Yea. You can get more than better man. Jack is your past,’’ sahut Raymond sambil menggenggam erat jemariku, ‘’Dear, don’t think about Jack. A lot of a good men waiting you outside.’’

‘’Don’t be so sad and never give up,’’ lanjutnya, ‘’Ellen, you are one of a good my employees, so don’t look so blue or disappointed. Everything will be Ok.’’

Usai mengatakan itu, Raymond berdiri, ‘’Ok dear, I must go home right now,’’ katanya, ‘’Take a rest and see you tomorrow.’’

Aku pun juga turut berdiri, ‘’Thanks Raymond, I will remember that.’’

Dipeluknya aku. ‘’I know you’re strong woman and keep spirit, don’t make this problems destroy your life.’’

***

Usai pernikahan adikku, aku tidak tahan dan tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Perasaanku masih hancur, jadi aku mengambil cuti seminggu. Uh, keluhku dalam hati, pesta pernikahan seharusnya jadi milikku, malah menjadi pesta pernikahan adikku. Karena itu, aku masih tidak tahu harus berbuat apa dengan hidupku dan aku merasa malu. Aku merasa tak berdaya menghadapi persoalan ini seorang diri. Hidupku hancur berantakan. Dunia kusuram.


Bahkan puluhan kali Jack mencoba menghubungiku usai pesta pernikahannya dengan adikku. Begitu juga ayah, mencoba menghubungiku.  Karena sewaktu bertemu di pesta, aku menjaga jarak dengan mereka semua. Aku datang hanya menunjukkan bahwa aku adalah wanita tegar. Walaupun sebenarnya tidak demikian.

Aku menutup diriku dari kehidupan diluar. Aku tidak sanggup, aku hanyalah manusia biasa. Bagaimana mungkin  aku bisa menghadapi ini semua. Aku bisa gila.


0 comments:

Post a Comment

 

Simpul Terujung Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang