Aku
memalingkan wajah, benci melihat mereka berdua, sakit hati itulah yang tepat
aku rasakan. ‘’Lanjutkan saja urusan kalian,’’ ujar ku acuh tak acuh, ‘’Aku
hanya mau mengambil beberapa barangku dan pergi dari sini.’’
Saat
aku melangkahkan kaki ke dalam, Audrey menyusulku. Pandangannya bingung, ‘’Maksudmu
apa kak Ellen,’’ tanyanya, ‘’Kamu mau meninggalkan rumah ini?’’
Ingin
rasanya tidak ku gubris perkataan Audrey, tetapi tatapan Audrey memintaku
menjawab pertanyaannya. ‘’Aku mendapatkan rumah dinas dari kantor,’’ kataku
sambil merapikan barangku. ‘’Jadi, tak ada salahnya aku menggunakannya.
Lagipula, aku sudah bosan tinggal di rumah ini. Jadi, lebih baik aku pergi saja!
Sampaikan salam ku ke ayah.
Audrey
masih berdiri di depan pintu kamarku, sedangkan Jack meninggalkan kami berdua,
hal itu kami ketahui dari suara mobilnya saat meninggalkan halaman rumah.
‘’Jangan kuatir, aku tetap akan datang ke pesta pernikahanmu.’’
Ketika
kuputuskan meninggalkan rumah, Audrey
hanya menangis. Selang satu jam setelah kejadian itu, ayah mencoba meneleponku.
Berulang kali ayah mencoba menghubungiku baik di kantor
maupun di ponsel. Namun, aku tetap tak bergeming dengan keinginan ayah untuk
bertemu dengan ku dari pesan singkat, voice mail dan pesan dikantor.
Saat
ayah mencoba mendatangiku di kantor, untungnya aku selalu tidak berada di kantor.
Karena sedang sibuk mengurus urusan kantor diluar. Jadi, ayah tidak sempat
bertemu dengan ku dan itu sangat kuharapkan, tidak bertemu ayah.
Pasti
ayah akan membela kelakuan putri bungsunya. Akukan memang selalu disuruh
mengalah. Sejak kecil selalu seperti itu. Tidak pernah ada orang --sekali pun--
yang benar-benar tulus mempedulikanku.
***
Seminggu
merupakan waktu yang singkat, pekerjaanku tetap berjalan. Bahkan beberapa kali
staff menanyakan kapan aku mau libur untuk mempersiapkan pernikahanku. Aku
hanya menjawab dengan senyuman semua pertanyaan kawan-kawan sekantor dan
kolega. Bahkan Raymond --bos ku-- menanyakan hal serupa.
Izin
cuti telah diberikan, tetapi aku membatalkannya. Begitu adikku keluar dari
ruanganku. Aku langsung membatalkan cutiku.
Pesta
pernikahan yang meriah, dihadiri semua kerabat dekat, relasi dan semua tamu
undangan. Pesta meriah itu menjadi sensasi sendiri, karena para tamu undangan
dan keluarga dekat merasa terkejut saat melihat mempelai wanitanya bukan aku. Berbagai
bisikan terdengar langsung maupun tidak langsung dari para tamu undangan yang
hadir.
Ingin
rasanya aku tenggelam dan menghilang, tetapi apa daya, aku tidak bisa melakukan
itu. Aku harus kuat, aku harus tegar. Walaupun sebenarnya aku rapuh. Aku
pandangin kedua mempelai dari jarak radius sepuluh meter. Aku hanya termenung
sendiri, walaupun kadang-kadang beberapa tamu menyapaku dan mengajak
berbincang-bincang, aku hanya menjawab lemah. Kadang hanya membalas pertanyaan
para tamu dengan tersenyum. Aku malas berkata-kata.
Aku
melihat Rudi berjalan menuju arahku. Hitungan menit, Rudi sudah berdiri
disebelahku. ‘’Kenapa bisa jadi seperti ini Ellen,’’ tanyanya ragu-ragu, ‘’Padahalkan
kalian pasangan yang cocok.’’
‘’Be quiet,’’ jawab ku acuh tak acuh, ‘’Ini
bukan urusan mu.’’
‘’Tapi,
tidakkah kamu melihat wajah terkejut semua tamu undangan,’’ katanya tanpa
menghiraukan perasaanku, ‘’Aku kan kawan
mu, memang hanya kawan kerja. Jadi, tidak ada salahnya aku bertanya padamu.’’
Diraihnya
tanganku dan tiba-tiba dia sudah menggeser posisi berdirinya berada didepanku.
Wajahnya menunjukan rasa simpatik, muak rasanya melihat wajah-wajah tamu yang
menunjukan rasa simpatik atau belas kasihan. Aku tidak perlu itu. ‘’Sudahlah,
biarkan aku sendiri,’’ ujarku, ‘’Aku sudah merasa cukup puas melihat wajah Jack
begitu kakunya menjawab semua pertanyaan orang mengenai ini.’’
Melihatku
ingin menyendiri, Rudi pun meninggalkanku seorang diri. Sebelum dia
meninggalkanku, dia memelukku sambil berujar, ‘’Tidak ada yang salah denganmu.’’
Sejujurnya aku merasa gerah berada didalam
ruangan ini. Jadi, aku memilih meninggalkan ruangan itu diam-diam. Kalau oranglain
ingin mengetahui perasaanku, aku hancur. Sama seperti vas bunga yang pecah dan tak
bisa lagi disatukan kembali keping-kepingannya.
Pesta
pernikahan yang kurancang sesempurna mungkin, mulai pestanya, makanan,
dekorasinya, baju pengantinnya, kuenya. Namun, itu semua bukan untukku. Bisakah
ada orang yang membayangkan ini semua. Aku pun sebenarnya tidak sanggup membayangkan.
Namun, ini memang terjadi pada diriku.
Seharusnya
aku yang duduk dipelaminan itu, bersanding dengan pria yang kucintai dan yang
mencintaiku. Bukannya berdiri disini menatap gelapnya malam, ingin rasanya
kuberlari. Ini bukan dunia barat, yang pernikahan seperti ini biasa terjadi.
Ini Indonesia ,
apakah aku sanggup memandang wajah-wajah kolegaku, kawan kerjaku, relasiku
dengan berbagai tatapan yang tidak kuketahui makna yang terkandung di dalamnya.
Saat
aku memandangi bintang, menghirup dinginnya udara malam. Keluarlah isak tangis
yang sejak tadi aku bendung. ‘’Oh, Tuhan. Bagaimana aku harus menghadapi hidup
seperti ini?’’ keluhku.
Aku
tidak menyadari ada orang yang melihatku menyelinap meninggalkan ruang pesta
dan berdiri diluar panggung sandiwara. ‘’Hi,
pretty woman,’’ sapa Raymond, ‘’What
are you doing here?’’
Aku
memalingkan badanku ke arah sosok suara yang menyusulku di teras hotel. Aku
tersenyum dan menghapus bekas air mata yang membasahi pipiku. ‘’Just standing and see stars,’’ jawabku.
‘’Come. Come here and sit down beside me,’’
tuturnya sambil menepuk-nepuk bangku disebelahnya.
‘’Thanks,’’ kataku sambil duduk.
‘’I don’t know what happened with your party
and I never asked you to explain your privacy problems,’’ katanya sambil
menegak wine dari gelasnya, ‘’I just give
you advice. You are a beautiful woman and smart.’’
Raymond
menaruh gelas di meja dan memandang wajahku dalam-dalam, aku tidak mengerti
arti tatapan matanya. ‘’You can get a
better man, more than,’’ tanya Raymond,
’’Who is your ex fiancé name?’’
‘’Jack,’’
jawabku lirih.
‘’Yea. You can get more than better man. Jack
is your past,’’ sahut Raymond sambil menggenggam erat jemariku, ‘’Dear, don’t think about Jack. A lot of a
good men waiting you outside.’’
‘’Don’t be so sad and never give up,’’
lanjutnya, ‘’Ellen, you are one of a good
my employees, so don’t look so blue or disappointed. Everything will be Ok.’’
Usai
mengatakan itu, Raymond berdiri, ‘’Ok dear,
I must go home right now,’’ katanya, ‘’Take
a rest and see you tomorrow.’’
Aku
pun juga turut berdiri, ‘’Thanks Raymond,
I will remember that.’’
Dipeluknya
aku. ‘’I know you’re strong woman and
keep spirit, don’t make this problems destroy your life.’’
***
Usai
pernikahan adikku, aku tidak tahan dan tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Perasaanku
masih hancur, jadi aku mengambil cuti seminggu. Uh, keluhku dalam hati, pesta pernikahan
seharusnya jadi milikku, malah menjadi pesta pernikahan adikku. Karena itu, aku
masih tidak tahu harus berbuat apa dengan hidupku dan aku merasa malu. Aku
merasa tak berdaya menghadapi persoalan ini seorang diri. Hidupku hancur
berantakan. Dunia kusuram.
Bahkan
puluhan kali Jack mencoba menghubungiku usai pesta pernikahannya dengan adikku.
Begitu juga ayah, mencoba menghubungiku. Karena sewaktu bertemu di pesta, aku menjaga
jarak dengan mereka semua. Aku datang hanya menunjukkan bahwa aku adalah wanita
tegar. Walaupun sebenarnya tidak demikian.
Aku
menutup diriku dari kehidupan diluar. Aku tidak sanggup, aku hanyalah manusia
biasa. Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi
ini semua. Aku bisa gila.
0 comments:
Post a Comment