Jam baru menunjukan pukul
11.00 WIB, aku mencoba membolak-balik berkas sebelum menyusunnya menjadi satu,
memeriksa tiap detail tulisan yang tertera dalam kertas putih. Rencananya
berkas ini akan segera di letakan di meja manajer untuk meminta persetujuan even
yang akan diselengarakan minggu depan.
Aku terkejut, saat
seseorang membuka pintu ruang kantorku yang terbuat dari kayu jati tanpa
mengetuk terlebih dahulu. Kucoba melihat sosok yang datang dengan terburu-buru.
Ah, ternyata Audrey, adikku. Kedatangannya saat itu tidak pernah kuharapkan.
Aku tidak bisa menutup rasa terkejutku, saat dia mampir ke tempat kerjaku.
Tidak biasanya, dia datang ke kantorku, bahkan penampilannya cukup berantakan,
tetapi tidak bisa menutup kecantikannya.
Begitu, dia melihatku
berada di depan meja kerja. Ia pun langsung menghempaskan diri di sofa di
depanku. Ada jeda diantara kami. Kubiarkan suasana hening itu menyelimuti kami.
Aku pura-pura berkonsentrasi membuka tiap lembaran kertas yang sudah beberapa
kali aku periksa.
Aku tak tahan dengan
suasana hening itu, ia terus menatapku, kucoba memecahkan kebisuan yang
terjadi. ‘’Ada apa?’’ tanyaku, ‘’Ada yang bisa dibantu, aku lagi sibuk
sekali.’’
‘’Tidak ada, aku hanya
ingin menyampaikan sesuatu,’’ serunya tanpa memandang wajahku, matanya melihat
sekeliling ruangan kantor. ‘’Ruangan yang nyaman.’’
‘’Memangnya kamu ingin
menyampaikan apa?’’ tanyaku lagi tanpa memandang wajahnya.
‘’Tentang Jack,’’ jawab
Audrey ogah-ogahan.
‘’Ada apa dengan Jack,’’
seruku cepat.
‘’He’s fine. Cuma
informasi yang akan kusampaikan mungkin bisa membuat kakak tak percaya,’’ kata
Audrey, ‘’Kakak tahu, aku pernah berhubungan badan dengan Jack. Waktu itu,
kakak sedang sakit di rumah sakit. Kami tidak sengaja bertemu dan melakukannya
atas dasar suka sama suka.’’
Perkataan Audrey
membuatku bingung dan tak mengerti makna didalamnya, ‘’Maksud mu apa?’’ tanyaku
bingung.
‘’Aku tidak bisa
menyimpan ini seorang diri. Makanya, aku harus bilang ke kakak. Biar tidak ada
penyesalan dengan pernikahanmu,’’ Audrey berkata, ‘’Waktu kamu kecelakaan dua
bulan lalu. Aku bertemu Jack di rumah sakit, sehabis aku menjegukmu. Aku ajak
dia ke café dan kami minum hingga larut malam. Lalu, tanpa ada komando, kami
melakukannya atas dasar suka sama suka.’’
Mendengar perkataannya
membuatku tak berdaya, marah, kesal, yang ada di pikiranku, kenapa adikku tega
melakukannya. Aku diam sejenak, terkulai lemah di kursiku. Setelah cukup
tenaga, aku mengintari meja kerjaku, duduk didepannya.
‘’Kenapa, kamu melakukan
ini. Aku tahu, kamu tidak pernah menyukaiku. Tapi kenapa kamu melakukan ini
Audrey, kenapa kamu menghancurkan hidupku,’’ jerit ku frustasi. ‘’Kamu tahu,
seminggu lagi kami akan menikah. Lalu, kenapa kamu menceritakan ini padaku.’’
Audrey mengintari ruangan
menuju jendela yang ada dibelakang mejaku, memandang keluar. Diam sejenak tak
ada suara, lalu Audrey mengucapkan hal yang tidak pernah aku duga. ‘’Karena aku
hamil. Aku hamil dan ini adalah anak Jack. Jack harus bertanggungjawab atas
perbuatannya padaku,’’ ujar Audrey sambil menyulutkan rokoknya.
Kuambil rokok itu dari
tangan Audrey dan kubuang. ‘’Apa kamu yakin itu anak Jack,’’ desakku cepat,
‘’Bukankah kamu pernah melakukan hubungan seks dengan semua orang.’’
Audrey tidak bergeming
dari depanku. Pandangannya hanya menuju ke tempat parkiran.
Aku tidak sabar menunggu
kata keluar dari bibirnya dan aku berharap dia mengatakan bukan! Diamnya Audrey
membuatku mendorong tubuhnya agar berpaling padaku. ‘’Napa tidak memilih satu
diantara teman pria mu untuk bertanggungjawab. Kenapa harus Jack,’’ ujar ku
menahan agar aku tidak mengeluarkan air mata.
Audrey terpaku mendengar
perkataanku. Lalu menyingkir dari depanku dan memilih duduk di sofa. Ada rasa
tak percaya, aku bisa mengatakan seperti itu. Terlihat sekilas goresan rasa
sakit hati, namun segera kutepis. ‘’Seratus persen aku yakin. Anak ini, anak
yang sedang ku kandung adalah anak Jack,’’ tuturnya, ‘’Karena sejak kejadian
itu. Aku hanya melakukan hubungan badan dengan Jack. Seksnya cukup mantap.’’
Perkataan Audrey
merobohkan semua dinding kepercayaan yang selama ini aku bangun. Hubunganku
dengan Jack cukup lama, empat tahun bukanlah waktu yang sebentar mengenal
kepribadian seseorang, bukan? Entah darimana datangnya perasaan marah dan
benci. ‘’Aku membencimu, kalau bukan adikku. Aku akan membunuhmu,’’ ujarku
kesal, ‘’Selama ini, aku selalu bersabar dengan mu. Sekarang tidak lagi. Aku
sudah tidak bisa bersabar dengan ulahmu, hubungan kita sebagai saudara putus!
Karena, aku tidak pernah punya adik pelacur sepertimu.’’
Aku merasa sedikit
menyesal saat mengucapkan itu. Apalagi saat adikku beranjak dari bangkunya.
Wajahnya berubah memerah. Entah karena amarah atau malu. Aku sendiri tidak
tahu. Di benakku hanya ada rasa tidak suka pada kelakuannya. Sebab dia memang
sudah keterlaluan. Seketika itu dia mengambil tasnya dan meninggalkan
ruanganku, sambil menoleh dan berujar, ’’Jangan salahkan aku. Jika aku memang
pelacur. Terus mau mu apa?’’ tantangnya.
Aku tidak bisa bergeming
dari tempatku berdiri, aku membelakangi jendela dan memandangnya penuh dengan
kebencian. ‘’Pergilah, jauhi hidup ku dan jangan pernah kamu mencariku lagi
disetiap kesulitan yang kamu ciptakan.’’
‘’Fine, I will remember
that my lovely sister,’’ gumamnya sambil membanting pintu.
Setelah kepergian Audrey
dari ruang kantorku, aku masih tetap terpaku berdiri memandang tempat parkir
yang sudah mulai sedikit longgar. Kulirik arlojiku menunjukan pukul 11.50 WIB,
jam istirahat tak lama lagi. Aku menuju meja kerjaku. Rasanya, tubuhku lemas,
karena ketidakpercayaan ini.
Aku menangis sampai tak
ada lagi air mata ini. Aku berusaha menekan nomor telepon yang sudah ku hafal
diluar kepalaku. ‘’Hallo,’’ ujar Jack di seberang sana.
Rasanya berat untuk
mengucapkan kata-kata dan aku tidak tahu apa nanti yang akan Jack katakan kalau
aku menanyakan masalah ini. ‘’Hallo,’’ ulang Jack.
‘’Jack, ini aku Ellen.
Bisa ketemu siang ini di café tempat biasa nggak,’’ kataku setengah memaksa.
‘’Tentu sayang, aku
barusan mau meneleponmu,’’ tuturnya dengan nada riang, ‘’Sampai ketemu sepuluh
menit lagi ya.’’
0 comments:
Post a Comment